Pagi itu aku mengenakan seragam sekolahku yang lama. Aku–Ozin–anak SMP kelas tiga pindahan dari SMP di pinggiran Jakarta, cukup gugup memasuki sekolah baruku. Aku digiring menunju kantor sekolah oleh seorang guru berkumis tebal, belakangan kuketahui namanya adalah Pak Hamdan. Guru dengan penampilan dan perawakan yang seolah tak segan melayangkan rotan ke kaki-kaki bocah SMP yang nakal.
“Dia anak baru itu, Bu,” katanya memperkenalkanku kepada seorang Ibu Guru berkacamata, sepertinya ia kepala sekolahku.
“Siapa namamu, Nak?” tanyanya padaku.
“Ozin, Bu. Ozin Airlangga Jacob,”
“Perkenalkan, nama saya Rahmi, Kepala Sekolah SMP Berdikari ini. Dan Bapak itu wali kelasmu, namanya Pak Hamdan,”
Aku mengangguk paham. Lalu berdiri sambil mengikuti langkah Pak Hamdan. Baru saja ingin melangkah keluar, suara Bu Rahmi terucap;
“Ozin, mulai besok gunakan seragam barumu ya,”
Aku menoleh padanya, lalu mengangguk.
Selalu tentang seragam. Gumamku.
***
Aku bertanya pada takdirku, tentang kepindahan ini, sekolah baru, teman baru, guru baru, dan seragam baru. Aku sudah melakukan semua yang serba baru ini enam kali dalam setahun. Pindah rumah bagiku sama saja dengan pindah segalanya. Begitulah, rezeki ayah bagai makhluk nomaden yang harus kami kejar. Dan aku–salah satu bagian dari keluarganya–bagai pengikut setia si makhluk nomaden ini. Imbasnya, aku sama sekali tak punya teman dekat, baik di selolah maupun rumah.
“Assalamualaikum, selamat pagi, anak-anak,” kata Pak Hamdan di depan kelas. “Kita kedatangan teman baru dari Depok, namanya Ozin.”
Aku membungkukkan tubuhku, sambil tersenyum kecil. Kupandangi ruangan kelasku dengan kumpulan mata yang tengah memandangku. Meja, kursi, papan tulis, guru, dan siswa. Semua sama seperti sekolahku dulu, hanya aku yang beda. Aku yang baru bagi mereka.
Waktu berlalu, jam istirahat pun tiba. Semua teman kelasku segera berlari keluar dengan tergesa-gesa sambil meneriakkan yel-yel, entah yel apa. Barangkali ada pertandingan basket antar-kelas. Yang perempuan terdengar keseluruhan histeris meneriakkan sebuah nama: Ardi, Ardi, Ardi!
Sementara di kelas, hanya ada aku, satu siswa tambun, dan satu siswi berambut kepang. Jenuh yang sudah seperti sahabatku ini, akhirnya coba kubunuh dengan kesibukan bersama buku gambar dan pensilku. Kugambar sketsa seluruh nuansa ruangan kelas dan juga dua orang siswa yang berada di kelas bersamaku.
Tiba-tiba dari arah pintu terdengar gerombolan perempuan berjalan heboh sambil tertawa terbahak-bahak, meneriakkan yel-yel aneh, mengganggu konsentrasiku. Happy girls! sungguh menjengkelkan. Membuat perenunganku gugur, gambarku berantakan. Siswa di kelas yang harusnya kugambar tambun, berubah menjadi semampai tak ubahnya Brad Pitt! Dunia tak adil.
Hilang mood-ku, kusudahi gambar itu dengan gambar Brad Pitt yang menghiasi. Kutatap siswa tambun tadi, lalu kupandangi lagi hasil gambarku, mataku jadi sakit. Mungkin hari ini adalah hari keberuntungan si siswa tambun tanpa pernah ia ketahui.
“Oh, lu anak baru itu ya?” kata salah satu Happy Girls padaku.
Aku mengagguk tenang, meski aku cukup terkejut dengan sikapnya. Belum selesai keterkejutanku, ia mendekat.
“Kenalin, nama gue Titi,”
Aku menyambut tangannya sambil memperkenalkan diri. “Nama gue Ozin,”
“Waw! Gambar lu bagus!” katanya sambil merebut buku gambarku. Perebutan itu, tak membuatku mampu untuk sekadar merebutnya balik: aku anak baru. Terima nasib mungkin adalah bagian dari proses adaptasi yang harus aku lalui.
Titi kemudian membawa buku gambarku kepada gerombolan teman-temannya. Dan dengan sekejap, para Happy Girls langsung bersorak kegirangan melihat gambar Brad Pitt.
“Ya ampun, ini Wisnu?” kata salah satu dari mereka, dengan wajah tak percaya.
“Nu, Wisnu! Lu digambar sama anak baru itu, lu di gambar ini kayak Brad Pitt, coba lihat deh,”
Wisnu, si siswa tambun tadi, mukanya langsung memerah. Wisnu kemudian menatapku dengan tatapan terima kasih tiada terkira. Berkat engkau, berkat engkau, aku Brad Pitt hari ini, barangkali begitulah makna tatapan matanya padaku.
Hari pertama sekolah sebagai murid baru ini, lumayan berkesan bagiku. Titi, barangkali menjadi nama yang akan selalu kukenang. Adakah nama lain yang akan kukenang lebih? Katanya, di masa remaja sepertiku ini, akan selalu ada kisah-kisah yang menyenangkan.
“Nana!” tiba-tiba Wisnu berteriak memanggil seorang siswi yang berjalan di depan kelas. “Makasih ya sampul bukunya, si Wulan suka!”
Wooooooooooooooaaaaaa, so sweet. Teriak Happy Girls.
“Sama-sama, Nu,” balas Nana.
“I love you, Nana,”
“I love you more, Nu,” Nana pun berlalu. Hanya perawakannya yang nampak dari tempat dudukku, Nana tinggi dan langsing.
Prak! Titi menepuk kepala Wisnu dengan keras.
“Heh, cowok itu gak boleh ngegombalin cewek lain selain pacarnya. Kalo Wulan denger gimana?”
“Yah, Ti. Nana kan masih saudara jauh sama gue, jadi gak apa-apa kali,”
“Alesan lu, dasar empang!”
Happy Girls pun riuh, mereka ikut mengeroyok Wisnu dengan hujatan-hujatan ala perempuan-perempuan se-te-rong. Hari pertama ini cukup berkesan bagiku. Setidaknya, aku bisa pulang ke rumah dengan mengingat nama-nama: Ardi, Wisnu, Titi, dan Nana.
Bersambung…
Jakarta, 9 Februari 2017
Pukul 15.59 WIB
With peace and love,