Rumah (Part 2)

screenshot_2017-02-09-16-01-05-1

Pagi itu aku mengenakan seragam sekolahku yang lama. Aku–Ozin–anak SMP kelas tiga pindahan dari SMP di pinggiran Jakarta, cukup gugup memasuki sekolah baruku. Aku digiring menunju kantor sekolah oleh seorang guru berkumis tebal, belakangan kuketahui namanya adalah Pak Hamdan. Guru dengan penampilan dan perawakan yang seolah tak segan melayangkan rotan ke kaki-kaki bocah SMP yang nakal.

“Dia anak baru itu, Bu,” katanya memperkenalkanku kepada seorang Ibu Guru berkacamata, sepertinya ia kepala sekolahku.

“Siapa namamu, Nak?” tanyanya padaku.

“Ozin, Bu. Ozin Airlangga Jacob,”

“Perkenalkan, nama saya Rahmi, Kepala Sekolah SMP Berdikari ini. Dan Bapak itu wali kelasmu, namanya Pak Hamdan,”

Aku mengangguk paham. Lalu berdiri sambil mengikuti langkah Pak Hamdan. Baru saja ingin melangkah keluar, suara Bu Rahmi terucap;

“Ozin, mulai besok gunakan seragam barumu ya,”

Aku menoleh padanya, lalu mengangguk.

Selalu tentang seragam. Gumamku.

***

Aku bertanya pada takdirku, tentang kepindahan ini, sekolah baru, teman baru, guru baru, dan seragam baru. Aku sudah melakukan semua yang serba baru ini enam kali dalam setahun. Pindah rumah bagiku sama saja dengan pindah segalanya. Begitulah, rezeki ayah bagai makhluk nomaden yang harus kami kejar. Dan aku–salah satu bagian dari keluarganya–bagai pengikut setia si makhluk nomaden ini. Imbasnya, aku sama sekali tak punya teman dekat, baik di selolah maupun rumah.

“Assalamualaikum, selamat pagi, anak-anak,” kata Pak Hamdan di depan kelas. “Kita kedatangan teman baru dari Depok, namanya Ozin.”

Aku membungkukkan tubuhku, sambil tersenyum kecil. Kupandangi ruangan kelasku dengan kumpulan mata yang tengah memandangku. Meja, kursi, papan tulis, guru, dan siswa. Semua sama seperti sekolahku dulu, hanya aku yang beda. Aku yang baru bagi mereka.

Waktu berlalu, jam istirahat pun tiba. Semua teman kelasku segera berlari keluar dengan tergesa-gesa sambil meneriakkan yel-yel, entah yel apa. Barangkali ada pertandingan basket antar-kelas. Yang perempuan terdengar keseluruhan histeris meneriakkan sebuah nama: Ardi, Ardi, Ardi!

Sementara di kelas, hanya ada aku, satu siswa tambun, dan satu siswi berambut kepang. Jenuh yang sudah seperti sahabatku ini, akhirnya coba kubunuh dengan kesibukan bersama buku gambar dan pensilku. Kugambar sketsa seluruh nuansa ruangan kelas dan juga dua orang siswa yang berada di kelas bersamaku.

Tiba-tiba dari arah pintu terdengar gerombolan perempuan berjalan heboh sambil tertawa terbahak-bahak, meneriakkan yel-yel aneh, mengganggu konsentrasiku. Happy girls! sungguh menjengkelkan. Membuat perenunganku gugur, gambarku berantakan. Siswa di kelas yang harusnya kugambar tambun, berubah menjadi semampai tak ubahnya Brad Pitt! Dunia tak adil.

Hilang mood-ku, kusudahi gambar itu dengan gambar Brad Pitt yang menghiasi. Kutatap siswa tambun tadi, lalu kupandangi lagi hasil gambarku, mataku jadi sakit. Mungkin hari ini adalah hari keberuntungan si siswa tambun tanpa pernah ia ketahui.

“Oh, lu anak baru itu ya?” kata salah satu Happy Girls padaku.

Aku mengagguk tenang, meski aku cukup terkejut dengan sikapnya. Belum selesai keterkejutanku, ia mendekat.

“Kenalin, nama gue Titi,”

Aku menyambut tangannya sambil memperkenalkan diri. “Nama gue Ozin,”

“Waw! Gambar lu bagus!” katanya sambil merebut buku gambarku. Perebutan itu, tak membuatku mampu untuk sekadar merebutnya balik: aku anak baru. Terima nasib mungkin adalah bagian dari proses adaptasi yang harus aku lalui.

Titi kemudian membawa buku gambarku kepada gerombolan teman-temannya. Dan dengan sekejap, para Happy Girls langsung bersorak kegirangan melihat gambar Brad Pitt.

“Ya ampun, ini Wisnu?” kata salah satu dari mereka, dengan wajah tak percaya.

“Nu, Wisnu! Lu digambar sama anak baru itu, lu di gambar ini kayak Brad Pitt, coba lihat deh,”

Wisnu, si siswa tambun tadi, mukanya langsung memerah. Wisnu kemudian menatapku dengan tatapan terima kasih tiada terkira. Berkat engkau, berkat engkau, aku Brad Pitt hari ini, barangkali begitulah makna tatapan matanya padaku.

Hari pertama sekolah sebagai murid baru ini, lumayan berkesan bagiku. Titi, barangkali menjadi nama yang akan selalu kukenang. Adakah nama lain yang akan kukenang lebih? Katanya, di masa remaja sepertiku ini, akan selalu ada kisah-kisah yang menyenangkan.

“Nana!” tiba-tiba Wisnu berteriak memanggil seorang siswi yang berjalan di depan kelas. “Makasih ya sampul bukunya, si Wulan suka!”

Wooooooooooooooaaaaaa, so sweet. Teriak Happy Girls.

“Sama-sama, Nu,” balas Nana.

I love you, Nana,”

I love you more, Nu,” Nana pun berlalu. Hanya perawakannya yang nampak dari tempat dudukku, Nana tinggi dan langsing.

Prak! Titi menepuk kepala Wisnu dengan keras.

“Heh, cowok itu gak boleh ngegombalin cewek lain selain pacarnya. Kalo Wulan denger gimana?”

“Yah, Ti. Nana kan masih saudara jauh sama gue, jadi gak apa-apa kali,”

“Alesan lu, dasar empang!”

Happy Girls pun riuh, mereka ikut mengeroyok Wisnu dengan hujatan-hujatan ala perempuan-perempuan se-te-rong. Hari pertama ini cukup berkesan bagiku. Setidaknya, aku bisa pulang ke rumah dengan mengingat nama-nama: Ardi, Wisnu, Titi, dan Nana.

Bersambung…

Jakarta, 9 Februari 2017

Pukul 15.59 WIB

With peace and love,

@sundakelapa90

 

 

Bermuhasabah Diri, Menemukan Illahi

merenung

Jika dahulu politik merupakan obrolan yang dikonsumsi kelompok-kelompok tertentu, kini politik telah menjadi topik perbincangan di mana-mana: kampus, kantor, meja makan keluarga, hingga pangkalan ojek. Fenomena ini dapat dimaknai dengan kesan positif dan negatif. Positifnya, masyarakat kita semakin “melek” akan prilaku elite politik di negeri ini, dan negatifnya, terjadi sikap responsif yang terkadang diletupkan dalam status-status di sosial media. Mengungkapkan pendapat tentu saja sah, tapi menjadi tidak etis ketika hal itu disampaikan dengan kata makian.

Melihat kegaduhan politik jika tidak kita sikapi dengan bijak, bukan saja membuat lelah hati dan pikiran, tapi juga membuat harmonisasi terhadap lingkungan sosial kita memburuk. Rasionalitas kita terhadap tetangga, sahabat, ataupun relasi terkadang diukur dengan seberapa loyal ia dengan pandangan politiknya. Saya A, jika dia B maka dia bukan bagian dari saya, begitu sebaliknya.

Bahkan hal ini merembet ke dalam hal remeh seperti memilih produk yang akan dikonsumsi: keripik itu adalah produk si A yang memiliki pandangan politik A, karena saya B maka saya tidak akan membeli keripik itu. Bayangkan, sampai memilih produk yang ingin dikonsumsi pun proses seleksinya bukan dengan landasan rasional—seperti nilai gizi si produk, dll—tapi pendekatannya menggunakan landasan sentimentil.

Apa jadinya jika landasan sentimentil ini masuk ke dalam sendi-sendi relasi dalam kehidupan sehari-hari: dunia kerja, keluarga, lingkungan sekitar, dan pertemanan?

Manusia memiliki kodrat sebagai makhluk sosial yang bahkan ditasbihkan sebagai makhluk yang tak lepas dari alpa dan kesalahan. Pernahkah kita berpikir bahwa kegaduhan ini sebenarnya untuk apa dan siapa? Kegaduhan ini hanya menyisakan lelah dan gejolak yang tak berujung. Lalu kita bertanya kembali, ke mana teman-teman kita? Keluarga? Relasi? Dan juga orang-orang di lingkungan rumah kita? Kita sibuk menyebut diri kita semi-insider, tapi lupa mengembalikan diri kita ke dirinya sendiri: menjadi manusia, bersosialisasi.

Terkadang kita membutuhkan waktu untuk berbicara pada diri sendiri, menghakimi diri, dan berkata: “Seberapa jauh kesalahan diri ini? Sudahkah dosa ini sejajar tingginya dengan langit? Maukah kita meruntuhkan gunungan dosa itu dengan prilaku yang lebih baik? Maukah lisan dan hati ini mengucap maaf kepada mereka yang tersakiti?”.

Jagat raya ini disibukkan dengan kesibukan yang diperintahkan Allah. Tengoklah bagaimana bumi berotasi pada porosnya, ia bertawaf mengelilingi matahari dengan patuhnya. Sementara itu, matahari juga terus memancarkan cahaya ke penjuru planet, ia disibukkan dengan kesibukan yang diperintahkan Allah. Dan dari semua kesibukan yang dilakukan jagat raya, dengan gratis dipersembahkan pada manusia. Begitu dimanjakannya kita, masih adakah alasan untuk menyibukkan diri dari hal-hal yang memberangus kodrat kita sebagai manusia?

Sudahlah, mari kembali menyapa. Mari kembali menjadi manusia. Mari bermuhasabah untuk menemukan kembali Allah dalam diri kita.

With peace and love,

@sundakelapa90

Jakarta, 1 Februari 2017

Rabu, Pukul 11.43 WIB

 

Melawan Hoax

provokasi

Akses informasi yang cepat sedikit banyak mengubah gaya hidup masyarakat kita. Mulai dari pergaulan, fashion, hingga paradigma dalam memandang politik. Adanya akses informasi yang cepat juga membuat keterbukaan tsunami informasi tak terbendung lagi. Kebebasan bersuara dan pendapat menjadi barang yang lumrah pada masa kini, tapi jika kebebasan berpendapat itu disampaikan dengan landasan fitnah? Apa dampaknya?

Berita atau kabar bohong (baca: hoax), semakin merebak akhir-akhir ini. Hoax berseliweran di jagat maya: mulai dari Facebook, Twitter,  situs berita, artikel di blog, hingga yang baru-baru ini geger yaitu buku Jokowi Undercover. Layaknya kebutuhan, hoax dikonsumsi setiap hari—sesering mungkin—oleh beragam kalangan: siswa, mahasiswa, guru, dosen, dokter, karyawan, buruh, tokoh masyarakat, hingga ibu rumah tangga yang sering bergosip di pengkolan gang.

Pertanyaannya, mengapa hoax menjadi konsumsi yang laris manis bagi tiap-tiap kalangan? Bayangkan, tak sedikit yang berlabel akademisi, ataupun yang dicap sebagai tokoh masyarakat masih terkecoh ‘mengkonsumsi’ hoax. Boleh dikatakan, hoax laku keras karena menyuguhkan kabar-kabar yang tidak biasa dan juga ‘menarik’ untuk disimak. Nikmatnya membaca hoax layaknya membaca novel-novel detektif yang mana tokoh protagonisnya adalah kita yang tengah terdesak, dan si antagonisnya adalah mereka yang superior di depan mata yang sewaktu-waktu akan menggilas kita.

Namun sayangnya, kehidupan nyata tidak senikmat membaca novel-novel detektif. Hoax dalam realitanya justru membuat kerugian besar bagi sendi-sendi yang ada dalam diri manusia: daya pikir, moralitas, dan sikap. Dampak dari merebaknya hoax sangat terasa dalam pergaulan sehari-hari, relasi pada pekerjaan, hingga relasi dalam kehidupan keluarga. Sebelum hoax menerjang deras, perbedaan agama menjadi hal yang lumrah di Indonesia—apalagi perbedaan pandangan politik. Namun sekarang? Naluri berpikir rasional hampir-hampir hilang dikaburkan hoax.

Celakanya, para konsumen hoax tak merasa dibodohi apalagi merasa mengkonsumi hoax. Ini seperti orang yang mengkonsumsi narkoba, merasa nikmat namun tak merasa mengkonsumsi narkoba yang katanya membahayakan itu. Narkoba bagi konsumennya adalah suplemen bahagia, hoax bagi konsumennya adalah suplemen kesengsaraan yang sejati yang tak ditemukan di media-media mainstream.

Dari mana datangnya hoax ini? Mengapa keberadaannya begitu deras dan menghanyutkan?

Tak dapat dipungkiri, jika begitu banyaknya hoax di sekeliling kita saat ini, kita patut percaya bahwa ada segelintir orang yang memang memproduksi hoax untuk beragam kepentingan: politik, bisnis, hingga popalaritas.

Membentengi Diri dari Hoax

Jika label akademisi atau cap sebagai tokoh masyarakat saja tidak cukup untuk menangkal hoax, ada baiknya kita baca arus informasi dari berbagai arah. Optimalkan pikiran seobjektif mungkin dalam menampung informasi yang didapat, jangan langsung alergi dengan media ini atau itu dan jangan juga langsung menaruh hati untuk media ini dan itu. Setelah itu, cek sumber dan informasi yang dituturkan dalam pemberitaan yang dijabarkan. Tak cukup dengan itu, bentengkan diri kita dengan pengetahuan alternatif yang kita dapat dari buku-buku dan juga orang-orang di sekeliling kita.

“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (kabar itu). Hal itu agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkanmu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S Al-Hujarat: 6)

Hoax yang dibalut dengan kata-kata menarik memang laku keras akibat minimnya minat baca masyarakat Indonesia pada hal-hal yang dianggap ‘berat’. Maka dengan bahasa seadanya, panas, dan seolah menggiring kita pada petualangan melawan bajak laut, hoax menjadi primadona di dunia maya. Ribuan hingga jutaan like disematkan untuk satu kabar hoax, belum lagi yang men-share itu.

Merebaknya hoax menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang teliti untuk meluruskannya dengan beragam cara yang dapat diterima dengan mudah para konsumen yang terlanjur mengkonsumsi hoax. Sebelum hoax menjadi pilihan konsumsi kita, ada baiknya kita patut mencermati langkah-langkah tadi agar jangan sampai kita terprovokasi dengan jargon-jargon provokatif.

With peace and love,

@sundakelapa90

Jakarta, 16 Januari 2017

Senin, pukul 08.50 WIB

Rumah

img_20161204_035408

“Rumah adalah sebuah novel yang sedang saya tulis. Untuk seseorang yang sangat berharga, sangat berarti, dan sangat ingin saya temui sekali lagi–sebelum mati.” (@sundakelapa90)

Aku menyongsong pagi ini dengan semangat menggebu, seperti halnya baru pertama kali berkenalan dengan pagi, aku akan menerobos kemacetan Jakarta dengan ceria. Mataku tak terganggu dengan pemandangan menyesakkan transportasi Jakarta, ataupun minibus yang berjalan ugal-ugalan meliuk-liuk sesuka hati.

Ah! Aku ada di Jakarta.

Kupastikan kemejaku rapi dengan layaknya, rambut tersisir rapi, dan sebisa mungkin kuatur langkahku berwibawa. Sengaja tak kuberitahu sopir pendampingku akan kegiatanku hari ini, aku hanya ingin tak ada yang menemaniku di sini. Lagipula, ini Jakarta, aku ingin merasakan kembali suasananya setalah duapuluh lima tahun tak pernah kuhirup lagi udara Indonesia. Maka kubulatkan tekad untuk menempuh tempat tujuanku dengan transportasi publik yang apa adanya Jakarta.

Aku berjalan keluar hotel, seketika banyak sopir taksi di sekitaran hotel menghampiriku–menawarkan jasa. Aku menolak dengan tak mengatakan sepatah katapun pada mereka, tapi makin tak berkata apa-apa, yang datang makin banyak–keroyokan. Kini kanan kiriku semua menawarkan jasa: tarif datar, tarif atas, full service, adalah inti dari penawaran mereka. Tapi bukan orang Indonesia rasanya jika patah semangat dalam mengais rezeki. Gagal padaku, mereka pergi dengan cepat menyerbu beberapa orang lain yang baru keluar dari hotel.

I love you, Indonesia!

Aku akan menuju studio salah satu stasiun televisi swasta di pusat Jakarta. Jarak hotelku dengan stasiun televisi itu hanya dua kilometer. Dengan jarak yang tak begitu jauh itu, kuputuskan menggunakan Transjakarta. Alasannya, agar tepat waktu dan dapat melihat kembali masyarakat Jakarta dari dekat.

Usai berjalan di jembatan penyebrangan Transjakarta, aku ke loket tiket dan membeli kartu bus. Sambil menunggu armada Transjakarta yang menuju ke tujuanku, kubuka ponselku dan kudapati sebuah pesan baru di imelku yang ternyata telah dikirim sejak kemarin sore. Dari stasiun televisi swasta itu:

Dear,

Mr. Ozin Airlangga Jacob

Terlampir susunan acara dan pertanyaan yang akan disampaikan oleh narahubung kami dalam acara talkshow yang akan berlangsung pagi ini.

Best regards,

DNA Tv/@kalaproject

Membaca pesan tadi, entah mengapa aku menjadi grogi tak menentu. Padahal sebelumnya, berkali-kali–bahkan setiap bulannya media-media Amerika sering mengundangku sebagai narasumber. Belum lagi wawancara dadakan yang mereka lakukan tiap kali bertemu denganku di tempat-tempat publik. Pertanyaan mereka panjang, mengagetkan, dan terkadang juga menyebalkan, tapi tak sama sekali membuatku grogi seperti sekarang ini. Mungkinkah nanti aku bisa demam panggung saat acara berlangsung? Ah, tidak boleh. Aku harus gagah menghadap kamera, aku harus menanggapi dengan baik setiap pertanyaan maupun guyonan host acara. Ini Indonesia, tak setiap hari aku punya kesempatan berbicara menghadap orang-orang Indonesia. Dan yang paling penting, cuma kesempatan ini saja yang memastikanku bisa menggunakan bahasa Indonesia. Ini bukan mimpi, kutegaskan lagi, ini bukan mimpi. Aku di Indonesia!

Kupandangi pemandagan Jakarta dari kaca bus Transjakarta. Pohon-pohon yang pucat, kabel-kabel jalan yang semrawut, dan pedagang asongan cang-ci-men (kacang, kuaci, permen) adalah sedikit banyak pemandangan Jakarta yang telah mengobati rinduku. Jakarta tak berbeda jauh sejak dulu, hanya saja ada sedikit perubahan dari Jakarta yang membuatku tersenyum sumringah, kini tiang-tiang monorel berdiri kokoh. Sesekali monorel lewat dengan cepat dan indahnya, kehadirannya bagai harta karun Jakarta yang telah lama dicari dan berhasil ditemukan.

Di saat asik bernostalgia sendiri dengan Jakarta, aku merasakan orang-orang di sekelilingku berbisik-bisik dengan gaduh. Kulirik sejenak, dan benar rupanya kegaduhan itu ada. Mereka melirikku dengan sembunyi-sembunyi, ada yang menepuk-nepuk pundak temannya seraya meyakinkan penglihatannya jika yang dilihatnya adalah benar. Sebagian bahkan berjingkrak-jingkak gemes tak karu-karuan. Tiba-tiba saja aku merasa kembali muda duapuluh tahun. Sesungguhnya aku ingin melempar senyum sambil tebar pesona dan berdehem manja pada mereka, tapi kuurungkan, aku takut mereka justru tak terpesona denganku.

Ha-ha-ha, sungguh! Antara aku dan mereka sesungguhnya ada kegilaan yang sama yang kami piara.

Untungnya sebelum kegilaanku berlanjut, aku telah tiba di halte tujuanku. Begitu turun dari bus Transjakarta, kulangkahkan kakiku cepat dengan hati riang yang membuat jiwaku hangat. Indonesia, alamnya, masyarakatnya, ah! Aku pulang kampung.

Banyuwangi, 27 Tahun yang Lalu

Aku sibuk mengecek berita maya dalam satu jam lebih, dan Nana sibuk membereskan semua barang bawaan liburan kami. Namun setelah beberapa lama kami sibuk dengan aktifitas kami yang cukup melelahkan, akhirnya aku dan Nana merebahkan diri di ranjang kapuk yang cukup empuk.

Ia memelukku dengan erat, aku ingin memulai kehangatan ini dengan beberapa cerita dan informasi yang kudapat, tapi Nana menutup mulutku dengan tangannya secara cepat. Ia kemudian berkata:

“Dengar. Jangan jawab apa-apa, jangan komentar apa-apa,” katanya.

Aku mengangguk. Siap mendengarnya dan menuruti permintaannya untuk tak berkata apa-apa.

“Nanti kita punya rumah yang kamarnya ada empat. Ruang tamu satu, ruang makan satu, ruang kerjamu satu, dapur satu, kamar mandi dua. Di belakang rumah ada teras taman, supaya kita bisa menanam sayur-sayuran atau buah-buahan. Aku tak ingin ada televisi, tapi kamu butuh televisi untuk kerja, maka televisi, kita taruh di ruang kerjamu, lengkap dengan radio dan laptopmu. Kamar kita pakai AC, kamu sering sesak nafas kalau udara ruangan pengap dan gak sehat. Kamar depan punya kita, kamar anak-anak ada dua di belakang dan tengah. Satu kamar lagi untuk kamar tamu, kalau orangtua kita berkunjung, bisa tidur di kamar itu. Ruang tamu ada lemari bukunya, untuk lemari bukuku: Al-Quran dan kitab-kitab klasik Arab kita juga bisa ditaruh sana, enak dipandang. Bukumu banyak, biar ditaruh di ruang kerjamu saja. Aku ingin dapur kita ada microwave, kompor gas, dan kulkas. Aku mau pakai mesin cuci, bajumu berat dan besar-besar, tak kuat aku harus menggilasnya dengan penggilasan. Oh ya, kita perlu ruang khusus kamu. Supaya kalau kamu mau berantakan dan sembarangan taruh pakaian kotor, kamu bisa masuk langsung ke kamar itu. Aku gak mau ada pakaian kotor atau barang-barangmu berserakan di mana-mana di dalam rumah,”

Aku benar-benar terdiam mendengarkan kata-katanya yang runut dan penuh harapan. Ia makin mendekapku erat.

“Aku ingin rumah yang diam dan dapat dihuni lama. Aku ingin kita bisa mengatakan pada siapapun usai beraktifitas: aku ingin pulang ke rumah.”

Hatiku menjerit. Ya Tuhan, jangan lepaskan dekapannya dariku. Tapi ia ingin rumah yang tak bisa kuberi, karena sepertinya Engkau takdirkan diriku dan dirinya menjalin hubungan ilusi. Tuhan, jika benar ia takdirku, datangkan aku padanya sekali lagi. Aku ingin pulang ke rumah, bersama dia yang menunggu di dalamnya.

Bersambung…

Cibubur, 4 Desember 2016

Minggu, Pukul 03.47 WIB

With peace and love,

@sundakelapa90

Tulisan Terakhir

 

unnamed-4

“Siapa bilang cinta bisa diukur dengan waktu? Walau sehari, jika itu berarti di hati, itu cinta.” (Healer/Korean Drama).

Jika setiap orang punya mimpi, aku juga punya. Tapi tak kugantungkan lagi di langit, aku sudah merelakan segalanya.

Rasanya, barangkali inilah tulisan putus asa yang pertama kutulis. Dan celakanya, ini adalah tentangku. Aku bukan lagi yang menggebu-gebu dalam menggenjot mimpi, bukan lagi yang ingin maju menggapai harapan. Aku yang kini, hanya ingin tidur.

Akan kucari sesuap nasi, untukku saja. Lalu kubiarkan diriku menonton drama Korea, film-film Disney, atau sekadar mendengarkan The Beatles. Jika lelah, kan kurebahkan diriku di atas kasur. Kupejamkan mata untuk menyambut malam dan esok pagi, esok dan esok lagi.

Berlaku seperti itu selanjutnya, hingga kontrak hidupku berakhir. Aku tak lagi mau mencemplengkungan diriku pada hal-hal yang melelahkan: politik, jurnalisme, organisasi, dan menjadi penjelajah? Itu bukan lagi aku.

Aku adalah sekumpulan putus asa. Selamat tidur untuk semesta, kuwariskan blog ini pada maya.

unnamed

 

Yang Tak Bernama,

@sundakelapa90

Cibubur, 24 November 2016

Kamis, pukul 10.22 WIB

Perjalanan ke Tiga Negara (Singapore, Malaysia, Thailand) Part 1

20160927_121709-1

Well, akhirnya kuputuskan juga untuk menulis ini, tulisan tentang perjalanan sederhanaku ke tiga negara.
Perjalanan ke tiga negara ini merupakan yang entah ke berapa kali, sebelumnya aku juga pernah melalang buana ke tiga negara tersebut. Tapi spesialnya, perjalanan kali ini aku ditemani dengan orang yang sangat spesial—hahay, kayak martabak aja pake spesial segala. Baiklah, mari kita mulai ngobrol-ngobrolnya…
Sebetulnya sederhana sekali perjalanan ke tiga negara ini, sama seperti kita ingin pergi ke Bali atau ke Flores dari Jakarta. Tapi yang membedakan dari kedua tipe perjalanan tersebut hanyalah paspor. Ya, karena di negara orang, maka syarat utama yang harus kita miliki adalah paspor. Jadi step awal bagi kalian yang mau melalang ke Asia Tenggara untuk pertama kali, ubah mindset kalian bahwa Asia Tenggara itu gak jauh, deket banget dari Indonesia, sama saja kayak kita mau pulang kampung, ke Bali, atau daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Sampai di Changi International Airport pada malam hari, aku dan dia—sebut saja Z—sempat berdebat karena pusing nyari bagasi. Tanya kenapa? Changi luas bingiiiiiitz. Dan setelah ketemu ke tempat bagasi, aku ingin teriak dan lari ke hutan (berasa Cinta AADC) tanya kenapa? Ransel Deuter baruku tergeletak menyedihkan di lantai Changi. Sekali lagi saudara-sadara: LANTAI!
Syok? Pasti. Ya iyalah, itu ransel hadiah ulang tahun (curhat. Hahay). Well, kami berdua langsung berangkat menuju terminal 2 Changi untuk beli Singapore Tourist Pass (STP), tapi berhubung kemaleman, konter penjualan Kartu STP ini pun tutup. Oh iya, buat kamu yang belum tahu STP itu apa, bisa baca di sini artikel saya soal STP. Akhirnya, kami beli tiket MRT yang single trip menuju Chinatown.
Karena mau irit, kami memutuskan untuk tidak membeli kartu perdana lokal. Otomatis, kami bagai manusia goa, harus terbebas dari dunia online, dan benar-benar use the brain untuk cari jalan dan lain-lain. Selagi bisa berbahasa Inggris (bahasa tubuh, sih, kebanyakannya), punya pengetahuan juga soal Singapore, buat apa cemas? Buat apa susah? Susah itu tak ada gunanya, la la la la la la…. lah kok?
Singkat cerita, sesampainya di Chinatown dengan menggunakan MRT jadwal paling akhir, akhirnya kami cengo. Mencoba mengingat-ingat gambaran peta penginapan kami, mencoba mengingat, using brain, tapi mandek. Akhirnya, dengan menggadaikan gengsi, kami bertanya (sebenarnya hanya saya yang bertanya, Si Z hanya cengar-cengir mendengarkan saya berbicara Singlish) soal alamat penginapan kami. Tapi karena orang Singapore rada individualis, dia langsung geleng tanpa menoleh sedikitpun ke kertas alamat yang aku sodorkan. Oke, fine, cukup tahu, kamu jahat (nangis sambil mukul-mukul tembok).
Akhirnya aku bertanya sama Pak Satpam yang baik hati karena menyambut senyum kami dengan ramah. Wajah satpamnya meyakinkan, kayaknya doi tahu semua ruas jalan di Chinatown ini. Dan, setelah kami tanyakan alamat penginapan kami, doi langsung ngeluarin HP-nya yang tentunyaaaaa… bisa online! My goodness…
Setelah ketak-ketik cukup lama, doi ngerutin alisnya (mikir keras), ngetik lagi, mikir keras lagi. Dan ketika ada temannya doi lewat, dia kasih HP-nya ke temannya itu. Ternyata, doi nyerah!
Singkat cerita, akhirnya mereka berdua menemukan arah di mana letak penginapan kami. Katanya: luruuuuuuus, belok kiri, luruuuuuus, belok kanan, nyebrang, luruuus,belok kiri, di situ. Oke, lega akhirnya bisa tahu keberadaan penginapan kami meskipun petunjuknya panjang dan ribet, serasa mau naik gunung lewati lembah. Apapun itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Satpam, dan langsung jalan lagi.
Kami jalan luruuuuuuus, belok kiri, luruuuuuuuuus, belok kanan, nyebrang, luruuuuuuuus, belok kiri, sampe. Lega dan capek. Tapi, jadi emosi jiwa dan raga. Kenapa? Karena tempat kami bertanya pada Pak Satpam tadi jaraknya ternyata depan-depanan, cuma beda blok!
Dari pengalaman ini, aku salut banget sama ingatan orang Indonesia yang hapal semua blok di sekitar rumahnya. Bahkan hapal juga jalan-jalan tikusnya. Kebayang gak gimana hebatnya babang angkot soal pengetahuan jalan? Saluuut.

Note: Keterangan foto gak ada. Itu tangan orang yang putus asa gak kebagian STP karena kemaleman XD
Lanjut lagi Part 2
With peace and love,
@sundakelapa90
Cibubur, 23 November 2016
Rabu, pukul 11.22 WIB

Live-Action Beauty and The Beast (2017)

hqdefault

Mawar, kastil, perempuan, kerajaan, adalah beberapa ciri khas yang selalu ditawarkan Disney dalam beberapa komik maupun film-filmnya. Bahkan seorang penulis Amerika bernama Dan Brown sempat menguak secara detail tentang sosok Walt Disney dan kode-kode (mawar, perempuan, dll) yang mengacu pada feminisme ‘tersembunyi’, pada novel best seller berjudul The Da Vinci Code.

Apapun itu, Disney memang pandai membangun ingatan masyarakat akan dongeng yang berkelas. Tak pelak, istana, kerajaan, bunga, putri, dan pangeran begitu sangat identik dengan Disney dan fantasi bagi penggemarnya. Lihat bagaimana anak-anak kecil yang bercita-cita menjadi Belle, Elsa, ataupun Cinderella. Kisah putri-putri istana yang memiliki setumpuk masalah yang menohok hati, ataupun kisah rakyat jelata yang memiliki keteguhan nurani, semua tersaji dengan apik dan dinikmati dengan berbagai pendekatan oleh penggemarnya.

Sukses pada film animasi Beauty and The Beast yang rilis pada 1991, pada 14 November 2016 Disney merilis trailer film live-action Beauty and The Beast yang mulai tayang pada 17 Maret 2017 mendatang. Dalam film versi live-action ini, Disney melibatkan beberapa aktris dan aktor kondang seperti Emma Watson (Belle), Dan Stevens (Beast), Kevin Kline (Maurice). Beberapa pengisi suara yang berperan sebagai pelayan istana yang dikutuk menjadi peralatan dapur, wadah lilin, dan jam juga merupakan tokoh-tokoh yang memiliki nama besar di industri film dunia. Mereka antara lain ialah Ian McKellen, Emma Thompson, dan Ewan McGregor. Film Beauty and The Beast versi live-action ini digarap oleh Sutradara Bill Condon.

Kisah Beauty and The Beast memiliki penggemarnya tersendiri. Animo masyarakat untuk menyaksikan kisah tersebut tak pernah habis. Hal itu terbukti denga munculnya komik maupun film animasinya. Dan saat ini, kisah Beauty and The Beast versi live-action nya barangkali akan membayar rasa penasaran bagi semua kalangan penggemar Disney. Dan sebuah pujian untuk Disney, pemilihan Emma Watson sebagai pemeran Belle sangatlah tepat. Emma yang sukses memerankan Hermione dalam serial Harry Potter hasil adaptasi J.K Rowling itu memang memiliki kualitas akting yang sangat matang.

Beberapa adegan dalam trailer Beauty and The Beast versi live-action yang menampilkan pertemuan Belle dengan Beast pertama kali, merupakan akting Emma yang bagi saya sangat baik. Potongan-potongan adegan yang diperankan Emma juga terasa hidup dan membuat saya cukup emosional dalam meresapinya.

Kisah Beauty and The Beast

unnamed-2

Kisah Beauty and The Beast merupakan kisah cinta antara dua insan manusia yang disekat oleh perbedaan fisik akibat sihir jahat seorang penyihir pada seorang pangeran (Beast) beserta seluruh istananya. Kisah ini merupakan kisah cinta antara Belle (si wanita cantik) dan Beast (si buruk rupa). Awal kisah, Belle masuk menyelundup ke sebuah kastil yang sepi senyap tanpa penghuni untuk menyelamatkan ayahnya. Namun tak dinyana, alih-alih ingin menyelamatkan ayahnya, Belle justru bertemu dengan monster buruk rupa (Beast) yang akhirnya menyanderanya sebagai pengganti untuk pembebasan ayahnya.

Beast yang bersifat dingin dan tertutup, tak meyukai kehadiran Belle, hal itulah yang membuat Beast bersikap kurag ramah pada Belle. Hal berbeda justru ditunjukkan oleh pelayan-pelayan istana yang terjebak sihir dan menjadi perabot rumah: seperti cangkir, jam, dan wadah lilin. Para pelayan istana tersebut menyambut kedatangan Belle dengan ramah dan dengan tangan terbuka, meski pada awalnya Belle cukup terkejut dengan penampakan yang dilihatnya (benda mati yang berbicara), namun Belle memiliki keramahan sikap.

Seiring berjalannya waktu, Beast mulai merasakan cinta pada Belle. Namun ancaman besar datang ketika seorang pemuda bernama Gaston (Luke Evans) yang mencintai Belle, murka dengan penangkapan Belle oleh Beast. Padahal, sihir menakutkan yang menimpa Beast beserta seluruh istananya akan lenyap jika ada seorang wanita mencintai Beast secara tulus. Apakah Gaston akan membunuh Beast? Dan apakah Belle akan membalas cinta Beast?

Jawabannya ada pada 17 Maret 2017. Meski memiliki ciri khas tersendiri pada tiap film dan kisah-kisanya, Disney juga sering memberikan kejutan yang tidak terduga pada akhir cerita. Semoga kisah Beauty and The Beast versi live-action ini akan menjadi tontonan yang menghibur dan mengedukasi.

Trailer film live-action Beauty and The Beast:

 

Beauty and The Beast Animation 1991 (side by side) dan trailer Beauty and The Beast 2017:

With peace and love,

@sundakelapa90

Cibubur, 21 November 2016

Senin, pukul 09.27 WIB

Yang Tersimpan di Hati

images-15

 

“Cinta tak tersurat di kertas, karena kertas bisa dihapus dan binasa. Cinta juga tak terukir di batu, karena batu bisa retak dan pecah. Tapi cinta, ialah yang terpatri di hati. Ia abadi.” (Jalaluddin Rumi)

Hari ini, rasanya enggan untuk membuka televisi, mendengarkan radio, membaca surat kabar, ataupun mengecek berita maya. Tak ada hasrat untuk melihat gemuruh manusia yang terus bising di layar kaca. Hari ini juga rasanya, buku-buku di kamarku tak juga membuatku tergoda untuk membaca. Hari ini, aku hanya ingin istirahat. Sungguh lelah…

Ada banyak manusia yang datang dan mengisi setiap detik yang dihadiahkan Tuhan dalam hidup kita. Di antara mereka ada yang tertakdir menjadi orangtua, sahabat, guru, ataupun pasangan kita. Semua dari mereka mengukir kisah yang berbeda-beda dengan kita, merajutnya dari detik hingga waktu-waktu yang lebih lama. Setiap kisah dari kenangan tentang mereka, adalah oleh-oleh perjalanan di dunia ini. Cinderamata untuk dikenang.

Pernah kukatakan pada ibu saat tengah duduk berdua di teras rumah kala sore, apa jadinya jika beliau tak melahirkanku? Beliau diam sejenak lalu menjawab: tidak tahu. Tapi kemudian beliau melanjutkan kata-katanya sambil menatapku: “Barangkali, hal paling mudah ditebak, jika aku tidak pernah melahirkanmu, saat ini aku duduk sendiri tanpa sedang berbicara dengan siapapun.”

Segaris takdir, sesederhana berbincang kala senja saja, adalah hal yang perlu disyukuri. Dari percakapanku dengan ibu, kulihat setiap benda yang ada dalam kamarku. Setiap benda memiliki cerita hingga bisa tiba dan menghuni di kamarku. Tiap benda itu adalah perangkat lain sebagai pengingat memoriku. Benda-benda itu berkisah, tapi hanya ingatan kita saja yang dapat menuturkan kisahnya. Mereka takdir, bagian dari perjalananku di muka bumi. Begitu juga aku, adalah takdir ibuku. Aku menjadi perangkat pengingat ibuku tentang banyak hal dalam hidupnya, termasuk pengingat syukur kepada Tuhan kala dianugerahi teman berbincang di waktu senja. Aku takdir ibuku, perangkat pengingatnya akan memori, dan juga pemandu syukur pada Illahi.

Pada semua yang pernah datang dalam takdir kita, setiap detiknya, siapapun ia, apapun statusnya untuk kita, pasti akan membawa pelajaran bagi setiap makhluk yang berpikir. Lingkaran takdir telah dibentuk olehNya sedemikian indah untuk manusia. Hanya tinggal bagaimana manusia bijak untuk menyikapinya.

Hanya yang perlu diingat, setiap yang didatangkan Tuhan pasti akan dipergikan jua. Maut, waktu, keadaan, kesempatan, adalah segelintir alasan sebuah perpisahan. Mereka yang datang, melukis memori di hati kita, dan kembali dipergikan Tuhan, maka akan selalu membekas di hati.

Yang tersimpan di hati, abadi.

With peace and love,

@sundakelapa90

Cibubur, 20 November 2016

Minggu, pukul 10.37 WIB

 

Belajar dari Rabiatul Adawiyah

images-9

“Aku mencintai Tuhan bukan karena takut akan neraka, dan bukan juga karena ingin surga. Aku mencintaiNya hanya karena diriNya semata.” (Rabiatul Adawiyah)

Di tengah hiruk pikuk politik yang gaduh, konflik ideologis yang menerpa bangsa, kecurigaan antara satu sama lain, serta kedangkalan berpikir masyarakat maya akhir-akhir ini, adakah kita pernah menghirup nafas lega untuk berpikir jernih?

Seolah kita dilahirkan dalam kapasitas manusia yang wajib memiliki dua hal: kawan dan musuh. Seolah kita hanya boleh berbuat kebaikan kepada kawan saja. Seolah kita diusir dari “agama” hanya karena berbeda pendapat (madzhab, politik, budaya) semata. Seolah kita hanya aku, tidak ada engkau dan mereka. Seolah dalam dunia ini, Allah hanya ciptakan satu kaum saja. Ketahuilah bahwa kebenaran diciptakan Allah bukan untuk dimonopoli segelintir kelompok. Kebenaran selalu menjadi hak prerogatif Allah, tiada satu pun zat di muka bumi yang dapat merampas dariNya.

Sosial media penuh dengan caci maki, setiap hari selalu ada saja yang menghujat sana-sini. Setiap hari rasanya kita selalu memproduksi dosa secara massal. Merasa diri paling benar, hanya karena jumlah kelompoknya lebih besar, dan merasa benar karena suara minoritas dianggap sebagai suara kebenaran. Air keruh dalam botol hanya akan menambah keruh jika tidak ada upaya untuk mengalirkannya ke sungai. Kadang, kita butuh waktu untuk melaju ke arah yang lebih teduh. Alirkan yang keruh itu, biarkan arus membawanya, titipkan padanya.

Kawan dan musuh bukanlah isi wajib dari biografi diri. Apakah seseorang dikatakan kuat, jago, hebat, alim, jika memiliki musuh yang banyak? Atau dapat dikatakan kuat, jago, hebat, alim jika memiliki kawan yang juga banyak? Tidak. Seorang jenderal memiliki musuh yang banyak, apakah dia dapat dikatakan hebat? Atau seorang koruptor yang memiliki kawan yang banyak, apakah dia hebat? Tidak.

Orang yang hebat adalah orang yang menyerahkan cintanya semata kepada Tuhan.

Seorang sufi perempuan kelahiran Bashrah, Irak, bernama Rabiatul Adawiyah barangkali menjadi salah satu cermin yang bisa kita tengok kembali. Bagaimana beliau memaknai cinta kepada Tuhan, bagaimana ia tak memiliki satu kosa kata pun dalam hidupnya tentang musuh. Sepanjang hidup, ia hanya sibuk mencintai Tuhan. Ia hanya sibuk memadu kasih dengan Tuhan. Ia bahkan tak tahu bagaimana cara untuk membenci setan: karena hatinya hanya dipenuhi cinta kepada Illahi.

Cinta hanya melahirkan kebaikan. Dan kebaikan akan membawa keberkahan. Benci hanya melahirkan keburukan. Dan keburukan akan membawa petaka. Jika bibit sudah disemai, mana ada ladang yang tak berbuah? Jika cinta sudah disemai, mana ada hati yang tak terselimuti rahmah?

Dari hidupnya, Rabiatul Adawiyah telah banyak memberikan pengaruh kepada ulama maupun sufi besar dunia. Nama-nama seperti Ibnu Arabi, Al-Ghazali, dan Jalaluddin Rumi merupakan orang-orang besar yang banyak dipengaruhi olehnya. Maka, begitulah cinta tumbuh bersemi. Hanya cinta kepada Illahi yang abadi, pencintanya tak akan pernah merasa miskin dan kaya. Ia akan bahagia saja, selalu.

Bercermin dari Rabiatul Adawiyah menjadi hal yang sangat relevan dengan kondisi kehidupan berbangsa dan beragama kita saat ini. Belajar dari Rabiatul Adawiyah tentang cinta kepada Illahi akan membawa kita pada kesimpulan: “Untuk apa membenci?”.

With peace and love,

@sundakelapa90

Cibubur, 18 November 2016

Jumat, pukul 08.19 WIB

 

 

The Beatles Rasa Orkestra

images-8

Dari keempat personel band The Beatles, tak satupun dari mereka yang bisa membaca not balok. Tapi, sumbangsih personel band asal Liverpool itu terhadap dunia musik sangatlah besar.

Digawangi John Lennon (gitaris/vokalis), Paul McCartney (bassis/vokalis), George Harrison (gitaris/vokalis), dan Ringo Starr (drummer/vokalis) lagu-lagu The Beatles abadi sepanjang masa. Melahirkan banyak warna musik baru, fenomena bintang dan penggemar, hingga kajian akademis. Wow memang!

Lagu-lagu seperti Yesterday, Don’t Let Me Down, Hey Jude, barangkali familiar di telinga sebagian orang. Lagu-lagu tersebut memang asik didengar dan sangat menghibur bagi sebagian kalangan. Tapi apakah The Beatles hanya identik dengan lagu Yesterday? Saya rasa tidak.

Banyak yang mengira bahwa The Beatles adalah grub band dengan aliran pop saja, atau rock saja. Bagi saya, The Beatles itu kompleks, bervariatif, dan sangat kaya untuk dikaji. Musik-musiknya berani, tidak mainstrem (kala itu), dan tidak hanya mengikat pasar mayoritas saja. Meski tak mampu membaca not balok, The Beatles nyatanya memiliki sensitivitas tersendiri dalam menyelami musik dengan cara tersendiri. Duet maut Lennon-McCartney memiliki andil besar dalam penciptaan lagu-lagu mereka yang menjadi ciri khas Beatles.

Lennon yang agak keras dan jantan dalam bidikan nada, digabung dengan sentuhan McCartney yang melankolis menjadikan paduan lagu cukup harmoni tercipta. Meski pada akhirnya The Beatles bubar, namun pengaruh grup band ini masih terasa. Seiring berjalannya waktu, musik bukan hanya tentang hal yang terdengar, tapi juga apa yang terasa. Rasa yang menggerakkan. Barangkali rasa itu juga yang membuat Lennon kembali tergerak untuk mengentikan segala bentuk kekerasaan di muka bumi yang berakhir pada tewasnya ia ditembak oleh penggemar beratnya sendiri.

Kini, perjalanan panjang The Beatles tak serta-merta berhenti. Meski hanya menyisakan dua personelnya (McCartney dan Starr), musik The Beatles memiliki bahasa tersendiri. Di Ciputra Artpreuner, Jakarta, 19 November mendatang akan ada konser orkestra yang dipimpin Addie MS membawakan 25 lagu The Beatles. Bersama sejumlah musisi seperti Sandhy Sandoro dan Vokalis Alexa, The Beatles akan menjelma menjadi nuansa klasik yang berbeda. Barangkali, meski berbau orkestra, musik Beatles masih kuat terasa bagi mereka yang mengerti akannya.

Menarik, lagu-lagu dari keempat pemuda asal Liverpool yang tak mengerti nota balok sama sekali itu, akan dibawakan oleh para pemain orkestra yang terdidik membaca not balok secara runut dan rapi. Can’t wait!

With peace and love,

@sundakelapa90

Cibubur, 16 November 2016

Rabu, pukul 17.27 WIB